Pages

Kamis, 20 Februari 2014

paradigma pendidikan

BEHAVIORISTIK VERSUS KONSTRUKTIVISTIK
Bayu Adi Nugraha
E-mail : molusca_smp21@yahoo.com

ABSTRAK : Paradigma pembelajaran dewasa ini menjadi  masalah dalam dunia pendidikan. Pendidikan di Indonesia masih kental dengan paradigma pembelajaran behavioristik yang memandang keseragaman adalah sebuah hal yang wajib. Ditengah kondisi yang seperti itu paradigma konstruktivistik datang membawa perubahan bagi pendidikan Indonesia. Paradigma konstruktivistik lebih menekankan pada kebebasan berfikir dan menggali pengetahuan dari karakteristik manusia yang berbeda-beda.
KATA KUNCI : Paradigma pembelajaran, behavioristik, konstruktivistik.
Pendidikan di Indonesia selama berpuluh-puluh tahun sejak kemerdekaan masih memiliki ciri-ciri yang sangat behavioristik. Namun demikian, sejak bergulirnya reformasi pada penghujung dekade 90-an, tuntunan perubahan paradigma pendidikan pun menjadi bagian yang tak terpisahkan. Sebagai konsekuensinya, telah diberlakukan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, yang mengakomodasi prinsip-prinsip otonomi pendidikan, kurikulum tingkat satuan pendidikan dan kebijakan lainnya yang mengakomodasi keragaman dan fleksibilitas, atau dengan kata lain mengakomodasi paradigma konstruktivisme dalam pendidikan.
Permasalahannya adalah di tingkat persepsi publik dan khususnya persepsi para pemangku kepentingan (stakeholders) pendidikan tentang sejauh mana perubahan tersebut terjadi dan dirasakan. Publik pengguna dan peduli pendidikan khususnya sebagian pihak yang awam secara teknis keilmuan pendidikan umumnya hanya bisa mengalami perlakukan kebijakan dan merasakan dampaknya (bahwa perubahan tidak sungguh-sungguh ada dalam kenyataan), tetapi tidak bisa menunjukkan bukti-bukti secara empiris, apalagi akademis, di mana letak masalah yang sesungguhnya. Bahkan, bukan hanya kalangan publik luas, para guru pun masih banyak bertanya, jika benar-benar paradigma pembelajaran konstruktivistik diberlakukan, mengapa cara-cara lama seperti ujian nasional masih tetap ada, mengapa para pengawas mata pelajaran hanya menanyakan kelengkapan administrasi pembelajaran dan ketuntasan kurikulum, bukan pada proses pembelajaran dan penguasaan oleh siswa. Pertanyaan-pertanyaan serupa terus bermunculan, yang secara umum bermuara pada pesimisme terhadap perubahan dan peningkatan mutu pendidikan di negeri ini.

A.    PEMBAHASAN
Paradigma Pembelajaran Behavioristik
Teori pembelajaran behavioristik mencari penjelasan-penjelasan dari tingkah laku yang sederhana yang dapat didemonstrasikan secara ilmiah.oleh karena itu, dan arena manusia dianggap menyerupai mesin, penjelasan behavioristik cenderung agak bersifat mekanis. Teori ini memanfaatkan dua kategori penjelasan tentang pembelajaran, yaitu penjelasan berdasarkan pada perilaku stimulus dan respon, dan penjelasan berdasarkan akibat dari tingkah laku yaitu penguatan dan hukuman (reinforcement and punishment).
Beberapa prinsip dari teori behavioristik adalah sebagai berikut:
·         pengulangan
·         tugas secara berurutan dari hal-hal yang kecil dan konkret
·         penguatan positif dan negatif
·         konsistensi dalam penggunaan penguat selama proses belajar mengajar
·         kebiasaan dan respon yang tidak diharapkan dapat dihancurkan dengan menghilangkan penguat positif yang terhubung pada mereka
·         penguatan yang cepat, konsisten dan positif meningkatkan kecepatan pembelajaran
·         ketika suatu item dipelajari, penguatan yang diberikan akan memperkuat daya ingat
Selama bertahun-tahun, konsep-konsep ini mendasari sebagian besar teori yang diterapkan dalam pendidikan anak dan dalam kelas pada umumnya. Orang tua dan guru masih menemukan bahwa dalam banyak hal siswa dapat belajar ketika disediakan dengan campuran yang cocok antara stimulus, ganjaran, penguatan negatif dan hukuman. Khususnya dengan anak-anak kecil dan tugas-tugas yang lebih sederhana, prinsip-prinsip behavioral sering efektif.
Namun demikian, pada akhirnya, para pendidik mulai merasakan bahwa walaupun stimulus-respon dapat menjelaskan banyak tingkah laku manusia dan memiliki tempat yang kuat dalam pengajaran, behaviorisme sendiri dianggap tidak cukup untuk menerangkan fenomena dalam proses pembelajaran. Untuk mengatasi ruang-ruang kesenjangan inilah, pendekatan kognitif atau konstruktivisme mulai mendapatkan tempatnya. 
Dalam praktik pendidikan di sekolah, menurut Degeng (2007), pembelajaran behavioristik menekankan pada keteraturan, bahwa pembelajar dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas ditetapkan lebih dulu secara ketat dan disiplin merupakan sesuatu yang sangat pokok. Kegagalan dalam melaksanakan aturan merupakan kesalahan yang harus dihukum karena ketaatan kepada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan. Dengan demikian, kontrol belajar dipegang oleh sistem di luar diri pembelajar. Tujuan pembelajaran behavioristik adalah penambahan pengetahuan, artinya seseorang dikatakan telah belajar apabila mampu mengungkapkan kembali yang telah dipelajari. dalam realita, pembelajaran behavioristik menekankan keterampilan terisolasi (tak terkait dengan kehidupan dan pemecahan masalah sehari-hari),mengikuti urutan kurikulum yang ketat, aktivitas belajar mengikuti buku teks, dan menekankan pada hasil. Oleh karena itu, respon dari siswa bersifat pasif, harus berupa satu jawaban yang benar, sedang evaluasi dipandang terpisah dari proses belajar.
Terbingkai dalam paradigma behavioristik, menurut Kamdi (2004), sekolah-sekolah di negeri kita dibangun di bawah substruktur industri dan dunia usaha, termasuk mengikuti sistem kolonial Belanda di mana sekolah semata-mata untuk melahirkan tenaga untuk menjadi pegawai pemerintahan dan perusahaan kolonial. Sekolah-sekolah menjadi instrumen produksi ekonomi dan politik. Akibatnya, di sekolah terjadi diferensiasi pengetahuan. Debat isu soal jenis pengetahuan apa yang penting dikembangkan melalui sekolah (sebut saja diferensiasi pengetahuan itu antara pengetahuan teknis atau sains, dan yang lain: sosial-humaniora) tak kunjung henti. Karakteristik ekonomi industrial yang korporatif memerlukan produksi pengetahuan teknis (tingkat tinggi) untuk menjaga perangkat ekonominya berjalan efektif dan makin canggih dalam memaksimalkan peluang ekspansi ekonominya. Apa yang lebih diperlukan bukan perluasan pengetahuan berstatus tinggi, tetapi memaksimalkan produksi. Akibatnya, kurikulum sekolah sarat dengan pengetahuan teknis dan intelektualistik statis. Sekolah hadir menjadi lembaga industrial yang kaku. Karakter metode mengajarnya menjadi lebih cenderung melatihkan pengetahuan teknis, memompakan pengetahuan isi (content knowledge) yang kadang tidak berpijak pada konteks sosial dan budaya masyarakat.
Berdasarkan pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa paradigma pembelajaran behavioristik memiliki manfaat dalam beberapa hal, namun tidak cukup untuk menjelaskan atau mendasari semua fenomena pembelajaran. Pada kenyataannya, paradigma ini telah dimanfaatkan untuk mendasari hampir semua fenomena pembelajaran sehingga melahirkan kesalahkaprahan dan dampak-dampak lain yang tidak memanusiakan manusia secara utuh.
Paradigma Pembelajaran Konstruktivistik
Konstruktivisme merupakan teori pembelajaran yang mengargumentasikan bahwa manusia membangun makna dari berbagai struktur pengetahuan yang ada pada dirinya. Pada waktu-waktu yang lalu pemikiran konstruktivis tidak dihargai secara luas karena persepsi bahwa anak-anak bermain dipandang tidak bertujuan dan memiliki sedikit manfaat. Dewasa ini, teori konstruktivis sangat berpengaruh khususnya pada sektor pembelajaran informal dan mulai diperkenalkan dalam sektor pembelajaran lainnnya.
Teori konstruktivisme menjelaskan bagaimana pengetahuan diinternalisasikan oleh pembelajar, yaitu melalui dua macam proses, yaitu proses akomodasi dan asimilasi. Ketika seseorang berasimilasi, ia menggabungkan pengalaman baru ke dalam kerangka yang sudah ada tanpa mengubah kerangka tersebut. Di sisi lain, akomodasi adalah proses membuat kerangka ulang pada representasi mental seseorang tentang dunia luar agar bisa sesuai dengan pengalaman-pengalaman baru yang diterima.
Perlu dipahami bahwa konstruktivisme tidak menganjurkan suatu cara pendidikan tertentu, tetapi menggambarkan bagaimana pembelajaran seharusnya berlangsung, yaitu bahwa pembelajar mengkonstruksi pengetahuan. Konstruktivisme merupakan gambaran kognisi manusia yang sering dikaitkan dengan pendekatan-pendekatan pembelajaran yang mempromosikan learning by doing.
Dalam kaitan dengan pembelajar, teori konstruktivisme memandang siswa sebagai individu unik dengan kebutuhan dan latar belakang yang unik, dan memiliki kepribadian yang kompleks dan multidimensional.  Teori konstruktivisme tidak hanya mengakui keunikan dan kompleksitas pembelajar, tetapi juga mendorong, memanfaatkan, dan menghargainya sebagai bagian integral dari proses pembelajaran.
Teori konstruktivisme juga menekankan bahwa pembelajaran harus secara bertahap menjadi tanggung jawab pembelajar. Berkaitan dengan motivasi, teori ini menyatakan bahwa motivasi yang berkelanjutan untuk belajar tergantung sungguh pada kepercayaan diri pembelajar pada potensi yang dimilikinya untuk belajar. Perasaan kompeten dan keyakinan pada potensi diri untuk memecahkan masalah berasal dari pengalaman langsung mengatasi masalah-masalah di masa lalu dan lebih kuat dibanding pengakuan dan motivasi eksternal. Hal ini terkait dengan konsep Vygotsky yaitu zone of proximal development, yaitu bahwa siswa ditantang dengan suatu masalah yang tingkat kesulitannya mendekati, namun sedikit di atas tingkat perkembangannya yang alami atau aktual. Dengan keberhasilan mengatasi masalah yang menantang tersebut, pembelajar memperoleh kepercayaan diri dan motivasi untuk menghadapi masalah yang lebih rumit.
Dalam kaitan dengan guru, pendekatan konstruktivis meletakkan guru sebagai fasilitator yang membantu siswa mencapai pemahaman tentang isi pelajaran; jadi siswa yang mengambil peran aktif dalam pembelajaran. Beberapa tugas fasilitator adalah bertanya, mendukung dari belakang, dan menyiapkan garis-garis belajar pembelajaran dan menciptakan lingkungan agar siswa dapat mencapai kesimpulan-kesimpulan, dan melakukan dialog dengan pembelajar.
Terkait dengan asesmen (penilaian), teori konstruktivisme menekankan asesmen dinamik, yaitu proses dua arah yang melibatkan interaksi antara pengajar dan pembelajar. Dalam hal ini, asesmen dan pembelajaran merupakan proses bertautan dan tidak terpisahkan. Pengetahuan tidak dipandang sebagai pelajaran yang berbeda, tetapi sebagai satu kesatuan yang terpadu.
Lebih lanjut, menurut Degeng (2007), paradigma konstrutivistik memiliki ciri khas pokok berupa ketidakaturan, kebebasan dan keragaman. Dalam hal ini, kegagalan atau keberhasilan dilihat sebagai interpretasi yang berbeda yang sama-sama harus dihargai. Tujuan pembelajaran menekankan pada penciptaan pemahaman, yang menuntut aktivitas kreatif-produktif dalam konteks nyata, dan beorientasi pada proses yang mengikuti pandangan pembelajar. Proposisi pembelajaran konstruktivistik adalah bahwa belajar adalah proses pemaknaan informasi baru; untuk itu, guru dituntut mendorong munculnya diskusi pengetahuan yang dipelajari, mendorong munculnya berpikir divergent, bahwa tidak hanya ada satu jawaban yang benar, mendorong munculnya berbagai jenis luapan pikiran atau aktivitas, menekankan pada keterampilan berpikir kritis dan menggunakan informasi pada situasi baru.
Penerapan paradigma konstruktivistik membawa angin perubahan dunia pendidikan nasional. Pembaruan itu akan berimplikasi amat luas (Kamdi, 2004). Pertama, perubahan visi kurikulum, dari visi kurikulum efisiensi sosial ke kurikulum yang fleksibel dan egaliter. Kurikulum yang fleksibel dan egaliter merupakan strategi untuk membelajarkan dan mengembangkan potensi individu. Kedua, perubahan pada ranah pembelajaran. Pembelajaran akan berfokus pada pengembangan kemampuan intelektual yang berlangsung secara sosial dan kultural, mendorong siswa membangun pemahaman dan pengetahuannya sendiri dalam konteks sosial, dan belajar dimulai dari pengetahuan awal dan perspektif budaya. Tugas belajar didesain menantang dan menarik untuk mencapai derajat berpikir tingkat tinggi, dalam hal ini proses dipandang sama penting dengan hasil belajar, dan berpikir cerdas dikonsepsikan mencakup "metakognisi" atau kemampuan memonitor belajar dan berpikir sendiri. Ketiga, perubahan strategi dan fungsi penilaian, yang memandang kurikulum sebagai strategi untuk membelajarkan siswa, dan pembelajaran sebagai proses fasilitasi agar siswa mudah membangun pengetahuan, maka penilaian bukan hal yang terpisah dari proses belajar. Penilaian terintegrasi dengan pembelajaran untuk mendukung proses belajar, dan siswa aktif mengevaluasi belajarnya sendiri.
            Paradigma konstruktivisme memang sangat cocok diterapkan dalam pendidikan, terutama di Indonesia sendiri karena paradigma belajar di Indonesia masih kental dengan nuansa behavioristik. Dalam paradigma ini peserta didik dipandang sebagai individu yang memiliki karakter dan kecerdasan yang berbeda dan seyogyanya mereka menggali pengetahuan mereka sendiri sesuai kemampuan mereka dan pendidik difungsikan sebagai fasilitator yang selalu mengawasi dan mengarahkan peserta didik.
B.     KESIMPULAN
Keberadaan paradigma behavioristik telah dimanfaatkan untuk mendasari hampir semua fenomena pembelajaran, sehingga melahirkan banyak kesalahan konsep bagi peserta didik karena mereka hanya menerima pengetahuan bukan menggali pengetahuan mereka sendiri. Dalam paradigma ini juga tidak memanusiakan manusia secara utuh.
Lalu muncullah paradigma konstruktivisme yang membawa angin segar perubahan dalam pembelajaran yang awalnya dipandang sebelah mata karena dianggap sebagai paradigma yang memiliki tujuan tidak jelas. Namun paradigma ini justru membawa perubahan yang positif karena peserta didik dapat menggali pengetahuan mereka sendiri sesuai dengan karakter dan kecerdasan masing-masing.
DAFTAR RUJUKAN
(http://www.sil.org/lingualinks/literacy/ImplementALiteracyProgram/BehavioristTheoriesOfLearning.htm). Diakses pada tanggal 6 April 2013 pukul 16.35 WIB
(en.wikipedia.org/wiki/Constructivism_(learning_theory). Diakses pada tanggal 08 April 2013 pukul 17.00 WIB

(http://igawidari.blogspot.com/2012/05/paradigma-pembelajaran-behavioristik-vs.html). Diakses pada tanggal 08 April 2013 pukul 19.00 WIB

Contoh Pembuatan RPP Geografi SMA

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
NAMA SEKOLAH         : SMAN 1 MALANG
MATA PELAJARAN     : GEOGRAFI
KELAS                            : X
SEMESTER                     : GASAL
TAHUN AJARAN          : 2012/2013
ALOKASI WAKTU       : 2 X 45 Menit

I.                   STANDAR KOMPETENSI
Memahami konsep, pendekatan, prinsip, dan aspek geografi.

II.                KOMPETENSI DASAR
1.      Menjelaskan konsep geografi.
2.      Menjelaskan pendekatan geografi.
3.      Menjelaskan prinsip geografi.
4.      Mendeskripsikan aspek geografi.
III.             INDIKATOR
1.      Menjelaskan  konsep dasar geografi menurut hasil seminar lokakarya geografi di Semarang tahun 1988 oleh IGI.
2.      Menjelaskan perbedaan pendekatan geografi.
3.      Menyebutkan prinsip-prinsip geografi.
4.      Menjelaskan perbedaan prinsip-prinsip geografi.
5.      Menjelaskan obyek formal dan material.
IV.             TUJUAN PEMBELAJARAN
1.      Siswa dapat menjelaskan konsep dasar geografi menurut hasil seminar lokakarya geografi di Semarang tahun 1988 oleh IGI.
2.      Siswa dapat menjelaskan perbedaan pendekatan geografi.
3.      Siswa dapat menyebutkan prinsip-prinsip geografi.
4.      Siswa dapat menjelaskan perbedaan prinsip-prinsip geografi.
5.      Siswa dapat membedakan obyek formal dan material.
V.                MATERI PEMBELAJARAN
1.      Pengertian geografi menurut para ahli.
2.      Konsep geografi menurut hasil seminar lokakarya geografi di Semarang tahun 1988 oleh IGI.
3.      Macam-macam pendekatan geografi.
4.      Macam-macam prinsip geografi.
5.      Macam-macam aspek geografi beserta objek kajiannya.

VI.             METODE PEMBELAJARAN
Ceramah, diskusi, tanya jawab, dan penugasan.
VII.          LANGKAH-LANGKAH  PEMBELAJARAN
PERTEMUAN 1
Tahapan Kegiatan
Kegiatan
Kegiatan Pendahuluan
·         Apersepsi: siswa menjawab salam guru, kemudian guru mengabsen.
·         Guru memberikan sebuah pertanyaan  kepada siswa tentang :
1.      Apa yang kamu ketahui dari geografi?
2.      Bagaimana cara mempelajari fenomena-fenomena alam melalui sudut pandang geografi?
·         Motivasi : geografi merupakan mata pelajaran yang memiliki cakupan yang sangat luas, sehingga kita tidak hanya belajar tentang bumi, namun kita juga akan mempelajari banyak disiplin keilmuan.

Kegiatan Inti
·         Guru menjelaskan pengertian geografi dari beberapa pendapat ahli.
·         Guru menjelaskan konsep geografi berdasar hasil lokakarya di Semarang tahun 1988 oleh IGI.
·         Guru memberikan beberapa topik permasalahan yang harus dikaji menggunakan pendekatan geografi.
·         Siswa melakukan diskusi kelompok
·         Setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi dan kelompok lain menanggapinya.
Kegiatan Penutup
·         Melakukan refleksi materi yang telah dibahas.
·         Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengajukan pertanyaan mengenai materi yang belum dimengerti.
·         Guru memberikan pesan moral kepada siswa sehubungan materi yang telah dibahas.
·         guru memberikan tugas untuk pertemuan selanjutnya

VIII.       SUMBER, ALAT, BAHAN DAN MEDIA PEMBELAJARAN
Wardiyatmoko, K. 2012, Geografi untuk SMA Kelas X. Erlangga.
Media : Gambar, tayangan powerpoint.

EVALUASI
TUJUAN
SOAL
JAWABAN
1.      Siswa dapat menjelaskan konsep dasar geografi menurut hasil seminar lokakarya geografi di Semarang tahun 1988 oleh IGI.
2.      Siswa dapat menjelaskan perbedaan pendekatan geografi.










3.      Siswa dapat menyebutkan prinsip-prinsip geografi.

4.      Siswa dapat menjelaskan perbedaan prinsip-prinsip geografi.




5.      Siswa dapat membedakan obyek formal dan material.



Sebutkan konsep dasar geografi menurut hasil seminar lokakarya geografi di Semarang tahun 1988 oleh IGI!



Jelaskan perbedaan antara pendekatan keruangan, kelingkungan, dan kompleks wilayah!










Sebutkan macam-macam prinsip geografi!


Jelaskan perbedaan antara prinsip korologi dengan tiga prinsip geografi lainnya!





Apa perbedaan antara obyek material dengan obyek formal?
Geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena geosfer dengan sudut pandang kewilayahan atau kelingkungan dalam konteks keruangan.







Pendekatan keruangan hanya mengkaji geografi dari sudut pandang daerah/suatu tempat, pendekatan kelingkungan mengkaji geografi dari sudut pandang hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan, sedangkan pendekatan kompleks wilayah penggabungan dari kedua sudut pandang tersebut.
1.      Prinsip korologi
2.      Prinsip interelasi
3.      Prinsip deskripsi
4.      Prinsip distribusi

Prinsip korologi merupakan prinsip gabungan dari ketiga prinsip lainnya, sehingga prinsip korologi lebih komplek dari prinsip interelasi, deskripsi, dan distribusi.

Obyek material merupakan obyek yang dikaji dalam geografi, sedangkan obyek formal merupakan sudut pandang keilmuan yang digunakan dalam mengkaji geografi.

IX.             PENILAIAN
1.      Tes tulis
2.      Hasil laporan diskusi kelompok
3.      Pekerjaan rumah


FORMAT PENGAMATAN DISKUSI
No
Nama
Aspek Pengamatan
Skor
Kerjasama
Keaktifan
Hasil Kerja







Malang, .....................................................2012

 Mengetahui,                                                                                                 
  Kepala SMAN 1 MALANG                                                Guru Mata Pelajaran,


  ____________________                                                      _____________________