BEHAVIORISTIK
VERSUS KONSTRUKTIVISTIK
Bayu
Adi Nugraha
E-mail
: molusca_smp21@yahoo.com
ABSTRAK
:
Paradigma pembelajaran
dewasa ini menjadi masalah dalam dunia
pendidikan. Pendidikan di Indonesia masih kental dengan paradigma pembelajaran
behavioristik yang memandang keseragaman adalah sebuah hal yang wajib. Ditengah
kondisi yang seperti itu paradigma konstruktivistik datang membawa perubahan
bagi pendidikan Indonesia. Paradigma konstruktivistik lebih menekankan pada
kebebasan berfikir dan menggali pengetahuan dari karakteristik manusia yang
berbeda-beda.
KATA KUNCI : Paradigma
pembelajaran, behavioristik, konstruktivistik.
Pendidikan di Indonesia selama berpuluh-puluh
tahun sejak kemerdekaan masih memiliki ciri-ciri yang sangat behavioristik. Namun demikian, sejak
bergulirnya reformasi pada penghujung dekade 90-an, tuntunan perubahan
paradigma pendidikan pun menjadi bagian yang tak terpisahkan. Sebagai
konsekuensinya, telah diberlakukan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang
Standar Nasional Pendidikan, yang mengakomodasi prinsip-prinsip otonomi
pendidikan, kurikulum tingkat satuan pendidikan dan kebijakan lainnya yang
mengakomodasi keragaman dan fleksibilitas, atau dengan kata lain mengakomodasi
paradigma konstruktivisme dalam pendidikan.
Permasalahannya adalah di
tingkat persepsi publik dan khususnya persepsi para pemangku kepentingan (stakeholders)
pendidikan tentang sejauh mana perubahan tersebut terjadi dan dirasakan. Publik
pengguna dan peduli pendidikan khususnya sebagian pihak yang awam secara teknis
keilmuan pendidikan umumnya hanya bisa mengalami perlakukan kebijakan dan
merasakan dampaknya (bahwa perubahan tidak sungguh-sungguh ada dalam
kenyataan), tetapi tidak bisa menunjukkan bukti-bukti secara empiris, apalagi
akademis, di mana letak masalah yang sesungguhnya. Bahkan, bukan hanya kalangan
publik luas, para guru pun masih banyak bertanya, jika benar-benar paradigma
pembelajaran konstruktivistik diberlakukan, mengapa cara-cara lama seperti
ujian nasional masih tetap ada, mengapa para pengawas mata pelajaran hanya
menanyakan kelengkapan administrasi pembelajaran dan ketuntasan kurikulum,
bukan pada proses pembelajaran dan penguasaan oleh siswa. Pertanyaan-pertanyaan
serupa terus bermunculan, yang secara umum bermuara pada pesimisme terhadap
perubahan dan peningkatan mutu pendidikan di negeri ini.
A.
PEMBAHASAN
Paradigma Pembelajaran Behavioristik
Teori pembelajaran
behavioristik mencari penjelasan-penjelasan dari tingkah laku yang sederhana
yang dapat didemonstrasikan secara ilmiah.oleh karena itu, dan arena manusia
dianggap menyerupai mesin, penjelasan behavioristik cenderung agak bersifat
mekanis. Teori ini memanfaatkan dua kategori penjelasan tentang pembelajaran,
yaitu penjelasan berdasarkan pada perilaku stimulus dan respon, dan penjelasan
berdasarkan akibat dari tingkah laku yaitu penguatan dan hukuman (reinforcement
and punishment).
Beberapa prinsip dari teori behavioristik adalah sebagai
berikut:
·
pengulangan
·
tugas secara berurutan dari hal-hal yang
kecil dan konkret
·
penguatan positif dan negatif
·
konsistensi dalam penggunaan penguat
selama proses belajar mengajar
·
kebiasaan dan respon yang tidak
diharapkan dapat dihancurkan dengan menghilangkan penguat positif yang
terhubung pada mereka
·
penguatan yang cepat, konsisten dan
positif meningkatkan kecepatan pembelajaran
·
ketika suatu item dipelajari, penguatan
yang diberikan akan memperkuat daya ingat
Selama bertahun-tahun, konsep-konsep ini
mendasari sebagian besar teori yang diterapkan dalam pendidikan anak dan dalam
kelas pada umumnya. Orang tua dan guru masih menemukan bahwa dalam banyak hal
siswa dapat belajar ketika disediakan dengan campuran yang cocok antara stimulus,
ganjaran, penguatan negatif dan hukuman. Khususnya dengan anak-anak kecil dan
tugas-tugas yang lebih sederhana, prinsip-prinsip behavioral sering efektif.
Namun demikian, pada akhirnya, para
pendidik mulai merasakan bahwa walaupun stimulus-respon dapat menjelaskan
banyak tingkah laku manusia dan memiliki tempat yang kuat dalam pengajaran,
behaviorisme sendiri dianggap tidak cukup untuk menerangkan fenomena dalam
proses pembelajaran. Untuk mengatasi ruang-ruang kesenjangan inilah, pendekatan
kognitif atau konstruktivisme mulai mendapatkan tempatnya.
Dalam praktik pendidikan di sekolah,
menurut Degeng (2007), pembelajaran behavioristik menekankan pada keteraturan,
bahwa pembelajar dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas ditetapkan lebih dulu
secara ketat dan disiplin merupakan sesuatu yang sangat pokok. Kegagalan dalam
melaksanakan aturan merupakan kesalahan yang harus dihukum karena ketaatan
kepada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan. Dengan demikian, kontrol
belajar dipegang oleh sistem di luar diri pembelajar. Tujuan pembelajaran
behavioristik adalah penambahan pengetahuan, artinya seseorang dikatakan telah
belajar apabila mampu mengungkapkan kembali yang telah dipelajari. dalam
realita, pembelajaran behavioristik menekankan keterampilan terisolasi (tak
terkait dengan kehidupan dan pemecahan masalah sehari-hari),mengikuti urutan
kurikulum yang ketat, aktivitas belajar mengikuti buku teks, dan menekankan
pada hasil. Oleh karena itu, respon dari siswa bersifat pasif, harus berupa
satu jawaban yang benar, sedang evaluasi dipandang terpisah dari proses
belajar.
Terbingkai dalam paradigma
behavioristik, menurut Kamdi (2004), sekolah-sekolah di negeri kita dibangun di
bawah substruktur industri dan dunia usaha, termasuk mengikuti sistem kolonial
Belanda di mana sekolah semata-mata untuk melahirkan tenaga untuk menjadi
pegawai pemerintahan dan perusahaan kolonial. Sekolah-sekolah menjadi instrumen
produksi ekonomi dan politik. Akibatnya, di sekolah terjadi diferensiasi
pengetahuan. Debat isu soal jenis pengetahuan apa yang penting dikembangkan melalui
sekolah (sebut saja diferensiasi pengetahuan itu antara pengetahuan teknis atau
sains, dan yang lain: sosial-humaniora) tak kunjung henti. Karakteristik
ekonomi industrial yang korporatif memerlukan produksi pengetahuan teknis
(tingkat tinggi) untuk menjaga perangkat ekonominya berjalan efektif dan makin
canggih dalam memaksimalkan peluang ekspansi ekonominya. Apa yang lebih
diperlukan bukan perluasan pengetahuan berstatus tinggi, tetapi memaksimalkan
produksi. Akibatnya, kurikulum sekolah sarat dengan pengetahuan teknis dan
intelektualistik statis. Sekolah hadir menjadi lembaga industrial yang kaku.
Karakter metode mengajarnya menjadi lebih cenderung melatihkan pengetahuan
teknis, memompakan pengetahuan isi (content knowledge) yang kadang tidak
berpijak pada konteks sosial dan budaya masyarakat.
Berdasarkan pemaparan diatas dapat
ditarik kesimpulan bahwa paradigma pembelajaran behavioristik memiliki manfaat
dalam beberapa hal, namun tidak cukup untuk menjelaskan atau mendasari semua
fenomena pembelajaran. Pada kenyataannya, paradigma ini telah dimanfaatkan
untuk mendasari hampir semua fenomena pembelajaran sehingga melahirkan
kesalahkaprahan dan dampak-dampak lain yang tidak memanusiakan manusia secara
utuh.
Paradigma
Pembelajaran Konstruktivistik
Konstruktivisme
merupakan teori pembelajaran yang mengargumentasikan bahwa manusia membangun
makna dari berbagai struktur pengetahuan yang ada pada dirinya. Pada
waktu-waktu yang lalu pemikiran konstruktivis tidak dihargai secara luas karena
persepsi bahwa anak-anak bermain dipandang tidak bertujuan dan memiliki sedikit
manfaat. Dewasa ini, teori konstruktivis sangat berpengaruh khususnya pada
sektor pembelajaran informal dan mulai diperkenalkan dalam sektor pembelajaran
lainnnya.
Teori
konstruktivisme menjelaskan bagaimana pengetahuan diinternalisasikan oleh
pembelajar, yaitu melalui dua macam proses, yaitu proses akomodasi dan
asimilasi. Ketika seseorang berasimilasi, ia menggabungkan pengalaman baru ke
dalam kerangka yang sudah ada tanpa mengubah kerangka tersebut. Di sisi lain,
akomodasi adalah proses membuat kerangka ulang pada representasi mental
seseorang tentang dunia luar agar bisa sesuai dengan pengalaman-pengalaman baru
yang diterima.
Perlu
dipahami bahwa konstruktivisme tidak menganjurkan suatu cara pendidikan
tertentu, tetapi menggambarkan bagaimana pembelajaran seharusnya berlangsung,
yaitu bahwa pembelajar mengkonstruksi pengetahuan. Konstruktivisme merupakan
gambaran kognisi manusia yang sering dikaitkan dengan pendekatan-pendekatan
pembelajaran yang mempromosikan learning by doing.
Dalam
kaitan dengan pembelajar, teori konstruktivisme memandang siswa sebagai
individu unik dengan kebutuhan dan latar belakang yang unik, dan memiliki
kepribadian yang kompleks dan multidimensional. Teori konstruktivisme tidak
hanya mengakui keunikan dan kompleksitas pembelajar, tetapi juga mendorong,
memanfaatkan, dan menghargainya sebagai bagian integral dari proses
pembelajaran.
Teori konstruktivisme
juga menekankan bahwa pembelajaran harus secara bertahap menjadi tanggung jawab
pembelajar. Berkaitan dengan
motivasi, teori ini menyatakan bahwa motivasi yang berkelanjutan untuk belajar
tergantung sungguh pada kepercayaan diri pembelajar pada potensi yang
dimilikinya untuk belajar. Perasaan kompeten dan keyakinan pada potensi diri
untuk memecahkan masalah berasal dari pengalaman langsung mengatasi
masalah-masalah di masa lalu dan lebih kuat dibanding pengakuan dan motivasi
eksternal. Hal ini terkait dengan konsep Vygotsky yaitu zone of
proximal development, yaitu bahwa siswa ditantang dengan suatu masalah
yang tingkat kesulitannya mendekati, namun sedikit di atas tingkat
perkembangannya yang alami atau aktual. Dengan keberhasilan mengatasi masalah
yang menantang tersebut, pembelajar memperoleh kepercayaan diri dan motivasi untuk
menghadapi masalah yang lebih rumit.
Dalam
kaitan dengan guru, pendekatan konstruktivis meletakkan guru sebagai
fasilitator yang membantu siswa mencapai pemahaman tentang isi pelajaran; jadi
siswa yang mengambil peran aktif dalam pembelajaran. Beberapa tugas fasilitator
adalah bertanya, mendukung dari belakang, dan menyiapkan garis-garis belajar
pembelajaran dan menciptakan lingkungan agar siswa dapat mencapai
kesimpulan-kesimpulan, dan melakukan dialog dengan pembelajar.
Terkait
dengan asesmen (penilaian), teori konstruktivisme menekankan asesmen dinamik,
yaitu proses dua arah yang melibatkan interaksi antara pengajar dan pembelajar.
Dalam hal ini, asesmen dan pembelajaran merupakan proses bertautan dan tidak
terpisahkan. Pengetahuan tidak dipandang sebagai pelajaran yang berbeda, tetapi
sebagai satu kesatuan yang terpadu.
Lebih
lanjut, menurut Degeng (2007), paradigma konstrutivistik memiliki ciri khas
pokok berupa ketidakaturan, kebebasan dan keragaman. Dalam hal ini, kegagalan
atau keberhasilan dilihat sebagai interpretasi yang berbeda yang sama-sama
harus dihargai. Tujuan pembelajaran menekankan pada penciptaan pemahaman, yang
menuntut aktivitas kreatif-produktif dalam konteks nyata, dan beorientasi pada
proses yang mengikuti pandangan pembelajar. Proposisi pembelajaran
konstruktivistik adalah bahwa belajar adalah proses pemaknaan informasi baru;
untuk itu, guru dituntut mendorong munculnya diskusi pengetahuan yang
dipelajari, mendorong munculnya berpikir divergent, bahwa tidak hanya ada satu
jawaban yang benar, mendorong munculnya berbagai jenis luapan pikiran atau
aktivitas, menekankan pada keterampilan berpikir kritis dan menggunakan
informasi pada situasi baru.
Penerapan
paradigma konstruktivistik membawa angin perubahan dunia pendidikan nasional.
Pembaruan itu akan berimplikasi amat luas (Kamdi, 2004). Pertama, perubahan
visi kurikulum, dari visi kurikulum efisiensi sosial ke kurikulum yang
fleksibel dan egaliter. Kurikulum yang fleksibel dan egaliter merupakan strategi
untuk membelajarkan dan mengembangkan potensi individu. Kedua, perubahan pada
ranah pembelajaran. Pembelajaran akan berfokus pada pengembangan kemampuan
intelektual yang berlangsung secara sosial dan kultural, mendorong siswa
membangun pemahaman dan pengetahuannya sendiri dalam konteks sosial, dan
belajar dimulai dari pengetahuan awal dan perspektif budaya. Tugas belajar
didesain menantang dan menarik untuk mencapai derajat berpikir tingkat tinggi,
dalam hal ini proses dipandang sama penting dengan hasil belajar, dan berpikir
cerdas dikonsepsikan mencakup "metakognisi" atau kemampuan memonitor
belajar dan berpikir sendiri. Ketiga, perubahan strategi dan fungsi penilaian,
yang memandang kurikulum sebagai strategi untuk membelajarkan siswa, dan pembelajaran
sebagai proses fasilitasi agar siswa mudah membangun pengetahuan, maka
penilaian bukan hal yang terpisah dari proses belajar. Penilaian terintegrasi
dengan pembelajaran untuk mendukung proses belajar, dan siswa aktif
mengevaluasi belajarnya sendiri.
Paradigma konstruktivisme memang sangat cocok diterapkan
dalam pendidikan, terutama di Indonesia sendiri karena paradigma belajar di
Indonesia masih kental dengan nuansa behavioristik. Dalam paradigma ini peserta
didik dipandang sebagai individu yang memiliki karakter dan kecerdasan yang
berbeda dan seyogyanya mereka menggali pengetahuan mereka sendiri sesuai
kemampuan mereka dan pendidik difungsikan sebagai fasilitator yang selalu
mengawasi dan mengarahkan peserta didik.
B. KESIMPULAN
Keberadaan paradigma behavioristik telah
dimanfaatkan untuk mendasari hampir semua fenomena pembelajaran, sehingga
melahirkan banyak kesalahan konsep bagi peserta didik karena mereka hanya
menerima pengetahuan bukan menggali pengetahuan mereka sendiri. Dalam paradigma
ini juga tidak memanusiakan manusia secara utuh.
Lalu muncullah paradigma konstruktivisme
yang membawa angin segar perubahan dalam pembelajaran yang awalnya dipandang
sebelah mata karena dianggap sebagai paradigma yang memiliki tujuan tidak
jelas. Namun paradigma ini justru membawa perubahan yang positif karena peserta
didik dapat menggali pengetahuan mereka sendiri sesuai dengan karakter dan
kecerdasan masing-masing.
DAFTAR
RUJUKAN
(http://www.sil.org/lingualinks/literacy/ImplementALiteracyProgram/BehavioristTheoriesOfLearning.htm).
Diakses pada tanggal 6 April 2013 pukul 16.35 WIB
(en.wikipedia.org/wiki/Constructivism_(learning_theory).
Diakses pada tanggal 08 April 2013 pukul 17.00 WIB
(http://igawidari.blogspot.com/2012/05/paradigma-pembelajaran-behavioristik-vs.html).
Diakses pada tanggal 08 April 2013 pukul 19.00 WIB